Penulis : Ani Suhartini , M.Pd
Buku : Study Awal Terhadap Artefak Praasejarah Limbangan
Garut, Sundapos.com - Limbangan berasal dari Nama Rajanya yang bernama Prabu Hande Liman Sanjaya yang pada waktu itu disebut Galuh Pakuwon (Pakuan Raharja) pewaris dari ayahnya yang bernama Munding Laya Dikusumah putra dari Maha Raja Siliwangi atau Ratu Haji di Pakuwon yang disebut Sangiang Jaya Dewata atau disebut juga Macan Putih atau Raden Rukmantara. Pendiri Kerajaan Galuh Pakuwon atau Galih Pakuwon. Dialah yang mempersatukan Sunda Pajajaran dan Sunda Galuh disingkat Galuh Pakuwon yang tempatnya di wilayah Kecamatan Balubur Limbangan sekarang di Desa Galuh Pakuwon yang dulunya dijadikan tempat Kerajaan oleh Prabu Hande Liman Sanjaya yang diteruskan oleh putranya yang bernama Adipati Liman Sanjaya Kusumah alias Sunan Cipancar. Tempatnya di atas pasir yang namanya Pasir Huut.
Menurut sumber sejarah pada zaman dahulu di Limbangan kira-kira Tahun 582 M di daerah Limbangan terdapat kerajaan yang namanya Kerajaan Kendan yang artinya “Kerajaan Batu Hitam”. Nama rajanya Tirta Kencana keturunan ke-9 dari kerajaan Taruma rajanya yang bernama Dewa Jaya Singa Diwarman. Tirta Kencana mendirikan kerajaan Kendan dengan istri permaisurinya yang bernama Manik Maya. Dia mempunyai anak yang bernama Sura Liman Sakti yang menikah dengan putri Kundungga dan lahirlah seorang putra bernama Resi Kandiawan yang menjadi raja Kendan selama 56 tahun.
Resi Kandiawan mempunyai putra yang terakhir Write Kandayun, pendiri kerajaan Galuh, tempatnya di Medang Galuh atau Medang Jati sekarang disebut Medang Kamulan (Kamulian sekarang). Write Kandayun mempunyai 3 (tiga) orang putra: Semplak Waja (Raja dan pendiri kerajaan Galunggung); Jantaka (wilayah Garut Selatan) dan Mandi Minyak yang menikah ke putra kerajan Kalingga Ratu Dewi Sima.
Keturunan Write Kandayun, maksudnya ketiga keturunannya mewariskan keturunan yang disebut Prabu Siliwangi. Penerus Galuh Aji Guna atau Lingga Wisesa menjadi pertama di Layung Watang. Dia mempunyai cucu yang bernama Prabu Wangi atau Lingga Buana, Prabu yang gugur di perang Bubat, Dia mempunyai anak bernama Diah Pitaloka (Citra Resmi) dan Wastu Kencana. Diah Pitaloka dan ayahnya Lingga Buana gugur pada saat perang Bubat.
Lingga Buana yang gugur itu disebut Prabu Siliwangi 1. Penerusnya yaitu Wastu Kencana di sebut Prabu Siliwangi 2. Niskala Wastu Kencana diteruskan lagi oleh anaknya yang bernama Ningrat Kencana dan disebut sebagai Siliwangi 3 (Prabu Surawisesa). Surawisesa Prabu Siliwangi 3 diteruskan oleh Prabu Siliwangi 4, yang bernama Ratu Haji Dipakuwon atau Sangiang Jaya Dewata atau disebut juga Macan Putih dengan nama lain Rd. Rukmantara yang menyatukan kembali Sunda Pajajaran dan Sunda Galuh, yang disebut Galuh Pakuwon.
Galuh Pakuwon sekarang tempatnya di Limbangan, menurut sejarah Prabu Siliwangi ke-4 (Sanghiang Jaya Dewata) alias Ratu Haji Dipakuwon Prabu Siliwangi ke-4 mempunyai 3 istri yaitu: (1) Subang Larang yang memiki anak Walang Sungsang, Lara Santang dan Kian Santang; (2) Dewi Intan Permata Puntang yang memiliki anak Darma Kinkin (Punya lagi Ranggalawe, Rumenggong dan Sunan Patinggi); (3) Dayeuh Manggung ( punya anak lagi Munding Wangi; Buni Wangi dan Dalem Emas); dan (4) Putri Anten yang memiliki anak Laya Kusumah, yang menikah dengan Munding Wangi yang merupanya anak dari Dayeuh Manggung, bergelarlah Munding Laya Dikusumah, yang mempunyai pusaka Sakala Domas.
Munding Laya Dikusumah penerus Galih Pakuwon diteruskan lagi oleh putranya yang bernama Prabu Hande Limansanjaya Kusumah. Diteruskan lagi oleh putranya Adipati Liman Sanjaya, yang disebut Sunan Cipancar itulah akhir dari kerajaan Galih Pakuwon atau disebut Pakuan Raharja, dan awal mula Balubur Limbangan, karena beralihnya kekuasaan yang dikuasai boleh orang-orang Eropa seperti Purtugis, Spanyol, Belanda, Inggris. Maka Galih Pakuwon oleh keresidenan atau kakuasaan Belanda diganti Galih Pakuwon jadi Kabupatian Penguasa pada waktu itu di Galih Pakuwon putra Sunan Cipancar yang bernama Wangsa Nagara atau Dalem Dewang I (R. Wijaya Bupati pertama). Jadi nama Limbangan diambil dari nama raja terakhir Galih Pakuwon yaitu Prabu Hande Liman Sanjaya Kusumah dan Adipati Liman Sanjaya yang disebut Sunan Cipancar.
Tetapi ada pula cerita Limbangan berasal dari nama raja ke-5 (lima) yang pernah bertempat tingal di daerah Limbangan sekarang. Nama-nama rajanya:
1) Tirta Kencana K. Kendan ,,,,,,
2) Sura Liman Sakti K. Kendan
3) Resi Kandiawan K. Kendan
Yang tempatnya kira-kira dari Nagreg ke utara atau Garut Utara.
4) Prabu Siliwangi
5) Munding Laya Dikusumah.
Yang diteruskan oleh Prabu Hande Liman Sanjaya Kusumah dan yang terakhirnya Adipati Liman Sanjaya Kusumah (Sunan Cipancar)
Penulis : Ani Suhartini
Legenda Masyarakat Limbangan
Kalangan ulama berpendapat bahwa, Limbangan berasal dari kalimah huruf alip, lam, mim yang menjadi sumbu palak al-Qur’an. Menurut Hujatul Islam Al-Ghozali tetapi alif lam mim menurut ilmu bahasa Arab tidak bisa diartikan, tahun yang lalu. Tetapi ada pula yang berpendapat kalau “alif, lam, mim” ditafsirkan alif lam mim ini kalau dipatah jadi Alloh Muhammad, kalau dikasroh artinya ilmu. Kalau didhomah jadi arti ulama. Terkumpul dalam huruf “alif, lam, mim” maka kata sebagian ulama Limbangan ini “alif, lam, mim” (lam menimbang mim). “Lam” artinya memiliki, “mim” artinya Limbangan adalah sifat Nabi Muhammad.
Barang siapa yang memiliki sifat Muhammad akan ketemu dengan huruf “ba” artinya bahasa ketemu lagi dengan huruf “ain” ngarasa (merasakan) terakhir bertemu lagi dengan huruf “nun” artinya nikmat dunia akherat disingkat Limbangan (itulah menurut sebagian ulama mengenai Limbangan, tetapi mengenai Limbangan ini bukan menurut cerita secara ulama saja).
Cerita masyarakat lainnya nama Limbangan ini berasal dari kisah rajanya yang dipanggil oleh Sunan Gunung Djati (Syeh Sarif Hidayatulloh) untuk bersama-sama membangun mesjid sebagaimana yang sudah dimusyawarahkan yang keputusannya barang siapa yang melalaikan pekerjaan itu akan dibunuh oleh pusakanya sendiri. Dikisahkan Adipati Sunan Cipancar (Adipati Liman Sanjaya) lamban (terlambat datang), maka begitu datang disambut oleh penggawa keraton dengan kasar, maka keluarlah ucapan dari mulut Adipati yang melumpuhkan penggawa tersebut. Datanglah Syeh Sarif Hidayatulloh menanyakan keterlambatannya dan disuruh Sunan Cipancar (Adipati) menyembuhkan lagi penggawalnya, maka sekali berkata sembuh maka penggawa tersebut sembuh. Raden Sarif Hidayatulloh kemudian menghukumi Adipati Liman Sanjaya di sebuah alun-alun. Diambillah pusaka Adipati dan ditusukkannya tapi tidak tembus selama 3 kali, yang akhirnya keluarlah ucapan “La iqro hapidin” tidak ada paksaan dalam agama. Maka Sarif Hidayatulloh menanyakan pusaka tersebut asalnya dan dijawab dari Kian Santang, maka Syarif Hidayatulloh juga dia mengatakan ilmunya seimbang antara dia dan Adipati maka menyuruhlah Galih Pakuwon harus diganti namanya menjadi Limbangan. Prabu Kian Santang melerai pertengkaran tersebut dan berkata Kang Sumare Ing Gunung Sembung Pangukuhan Cirebon Hilir Cirebon Girang. Jadi Limbangan adalah tersebut tersebut wilayah Kerajaan Cirebon Girang.
Penulis : Ani Suhartini
Budaya Limbangan Masa Lalu (Sangiang dan Dangiang )
Sangiang mengandung arti suatu kepercayaan mengenai keyakinannya terhadap roh-roh yang disebut Animisme dan Dinamisme. Konon ceritanya di negeri Parahyangan pada zaman dahulu sebelum adanya Hindu dan Budha, negeri Parahyangan menganut keyakinan kepada para Sangiang dan Dangiang ini terbukti di Jawa Barat ada gunung yang namanya Gunung Sangiang yang terletak di Kecamatan Bl. Limbangan Kabupaten Garut. Menurut cerita masyarakat dulu, di Gunung Sangiang itulah awal mulanya peradaban manusia dan mulainya ajaran mengenai kepercayaan kepada Dzat Sang Maha Tunggal. Para Batara dan Para Pandita juga Para Resi terbukti dengan adanya Gunung Singguru dan Gunung Batara Guru.
Sekitar 5.000 tahun sesudah Nabi Adam lahir dan hiduplah seorang manusia yang pertama di Gunung Sanghiang yang bernama Sanghiang Sangkala yang berbahasa Sunda dengan bahasa (HA NA CA RA KA) yang sekarang disebut asal mulanya bahasa Sunda yang dipakai di negeri Parahyangan menurut cerita Sangiang Sangkala di gunung tersebut menjadi seorang pertapa hasil dari pertapaannya didapat suatu ajaran tentang kehidupan agama, sosial, politik dan ajaran purba titi dan purba zati dengan menggunakan bahasa HA NA CA RA KA itulah Sangiang Sangkala mengajarkan kepada penduduk Parahyangan.
Asal mula bahasa HA NA CA RA KA pada waktu itu Sangiang Sangkala mengutus dua orang utusan yang bernama Rd. Sembada dan Rd. Sabadora. Utusan tersebut disuruh mengumpulkan berupa emas dan permata yang ada di daratan dan lautan dan disuruh menjaga pula kedua orang tersebut. Suatu ketika Sangiang Sangkala mengutus kepada Rd. Sembada mengambil emas dan permata yang dikumpulkan oleh Rd. Sabadora, tetapi Rd. Sobadora tidak mau memberikannya karena dia memegang janjinya kepada Sangiang Sangkala. Terjadilah perkelahian yang sangat sengit, yang akhirnya keduanya perlaya atau mati. Maka Sangiang Sangkala merasa bersalah kepada 2 utusannya dan utnuk mengenang kedua utusannya Sangiang Sangkala menyebutnya HA NA CA RA KA DA TA SA WA LA PA DA JA YA MA GA BA TA NGA, artinya Dua utusan membicarakan sesuatu sama saktinya dan berkelahi sampai mati, maka dipakailah bahasa tersebut menjadi bahasa Komunikasi Parahyangan, dan dikumpulkannya oleh Sanghiang Sangkala para sesepuh Parahyangan untuk menyusunkan HA NA CA RA KA tersebut, maka lahirnya kalimat a, i, u, e. o, maka diberi perintah untuk menyusun kalimat-kalimat atau bahasa dari kalimat tersebut.
0 Komentar