Bandung, Sundapos.com- Semangat kebangsaan disebut juga sebagai nasionalisme dan patriotisme. Nasionalisme adalah suatu paham yang menganggap bahwa kesetiaan tertinggi atas setiap pribadi harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Nasionalisme yang saya maksud dalam hal ini adalah nasionalisme dalam pengertian luas yaitu perasaan cinta yang tinggi atau bangga terhadap tanah air dan tidak memandang rendah bangsa lain.
Bukan bermaksud menjastifikasi, dari pengamatan generasi zilenial dan milenial secara empirik yang saya alami, ada sisi-sisi temuan negatif, masih banyaknya perilaku pembullyan atau perundungan, perilaku fanatisme sempit kesukuan, fanatisme keagamaan, aksi kekerasan intra sesama siswa sekolah dan antar sekolah, sempitnya wawasan pengetahuan umum, kurangnya kecintaan dan pengetahuan dan nilai budaya lokal (darah/etnis) asal mereka sehingga kurangnya etika dalam bertutur kata, bersikap adalah indikasi bahwa mereka masih lemah karakter kebangsaannya.
Secara empirik temuan ini tentunya banyak faktor, baik yang berasal dari kontrol sosial dalm internal keluarga yang lemah, pola asuh dalam keluarga yang salah dan kurang memperhatikan pentingnya aspek ini, lingkungan sosial pertemanan, baik di sekitar rumah dan terutama dalam lingkungan pertemanan di sekolah, kontrol pihak sekolah yang hanya bersifat formalitas dalam ruang kelas saja, dampak penggunaan teknologi informasi yang hanya diakses hal-hal kekinian sekedar hiburan dan hal-hal yang memancing kepenasaran jiwa "layer psikologis anak-anak dan usia remaja" tanpa kontrol atau pengawasan ketat dari orang tua, serta etos lingkungan sosial mengamplifasi sikap tidak toleran pada perbedaan dan kerukunan.
Kalau meninjau dari pihak budaya politik yang disuguhkan dalam berbagai media, cenderung menyuguhkan hanya kontestasi panggung politik kekuasan bukan memberikan informasi dan pendidikan politik kenegarawanan. Ditambah tayangan berita yang menuguhkan tidak sejalannya tokoh2 politik dan pejabat publik antara kata-kata dengan fakta tindakan dan perilaku yang berdampak pada tayangan ditemukannya korupsi, tindakan kriminalitas, glamoritas, hedonistik dan saling klaim jasa kebaikan program kerja demi pendulangan suara dari rakyat, adalah wacana-wacana "lips service" yang di satu sisi menguatkan "proxy war" yang tidak disadari oleh para elite sosial dalam berbagai rung lingkungnya (formal maupun informal) atau daerah hingga pusat).
Terlebih, serangan budaya asing berbungkus beragam dimensi budaya yang dengan sadar "dilahap" tanpa "tedeng aling-aling" oleh segenap lapisan masyarakat yang semakin mencerabut kesadaran generik kultural kedaerahan yang luas sebagai akar dari spirit nasionalisme dan patriotisme. Upaya penyadaran akan pentingnya pembentukan karakter kebangsaan yang dalam pengertian luas, terhambat dan mandek karena ukuran kuantitatif dan progresifitas teknologi yang dipandang sebagai ukuran kesuksesan dan kemajuan hidup, bukan pada kualitas perilaku diri yang cinta pada tanh air, lingkungan sekitar atau asal mula tempat kelahiran dengan segenap nilai luhur budaya lokalnya, yang sudah sedemikian lama, ratusan bahkan ribuan tahun menjadi "pelindung kelestarian alam, keadaban budaya luhur bangsa, dan keindahan budaya yang beragam rupa dari Sabang sampai Merauke, dari Sangir Talaud sampai pulau Rote.
Di lain pihak, kesehatan dan keolahragaan, seolah mengerucut menjadi budaya "tontonan dan pemuas rasa klanisme sempit" bukan pada marwah semestinya sebagai budaya penting yang tidak hanya sebagai "tontonan dan gensi sosial gaya hidup" tetapi mestinya menjadi "way of life" yang benar-benar ditumbuhkan secara politik kebangsaan kita bagi segenap lapisan masyarakat agar tercipta generasi penerus bangsa yang kuat, sehat, berkembang fisik dan kesehatan tubuhnya secara normal yang berdampak pada kesehatan jiwa dan mental serta spiritualnya. Tentang masalah kesehatan dan kebugaran ini sebenarnya ethnowellnes Nusantara atau ETNA sudah begitu banyak dilupakan dari budaya kesehatan rakyat bangsa ini, yang terjebak pada"pola gaya hidup modern" serta orientasi budaya spiritualisme bangsa luar yang tidak kompatibel dengan manusia Nusantara yang mestinya equal dan adaptif dengan budaya bangsa sendiri.
Wacana mutiara kalimat dalam pembukaan UUD 1945 yang diantaranya berbunyi :"....kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan..dst", sebatas jargon yang tidak benar-benar dihayati sebagai dasar upaya membangun kesadaran karakter kebangsaan dalam pengertian luas. bangsa dalam hal ini, pada hakekatnya termasuk pula etnik-etnik yang berjumlah ratusan di bumi Nusantara yang masih "terjajah" oleh bangsa sendiriyang tanpa disadari sebagai "agen-agen asing" dalam era "perang budaya" atau dunia mengenalnya sebagai "proxy war". Perang masa kini yang terjadi dan perlu diwaspadai oleh Indonesia salah satunya adalah Perang Proxy (Proxy War). Proxy War tidak melalui kekuatan militer, tetapi perang melalui berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Baik melalui politik, ekonomi, sosial dan budaya termasuk bidang lainnya. Hal inilah yang akan dihadapi oleh Bangsa Indonesia ke depan.
(Ira Indrawardana. Antropolog UNPAD)
0 Komentar